
Manakiban adalah salah satu tradisi keagamaan Islam yang berkembang luas di masyarakat Nusantara, khususnya di kalangan Nahdlatul Ulama (NU) dan tarekat-tarekat sufi seperti Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Tradisi ini biasanya berupa pembacaan riwayat hidup (manaqib) seorang tokoh sufi besar, terutama Syekh Abdul Qadir al-Jailani, yang dianggap sebagai wali agung dan pembimbing spiritual.
**Asal-usul dan Makna Manakiban**Kata *manakiban* berasal dari kata Arab **”manaqib”** (مناقب), yang berarti keutamaan-keutamaan atau kisah mulia dari seorang tokoh. Dalam konteks tradisi Islam di Indonesia, manakiban merujuk pada kegiatan membaca dan merenungkan kisah hidup dan karamah (keajaiban spiritual) para wali, yang paling sering adalah **Syekh Abdul Qadir al-Jailani**, pendiri Tarekat Qadiriyah.Tradisi ini bertujuan tidak hanya untuk mengenang jasa para wali, tetapi juga untuk:* **Menguatkan iman dan takwa** umat melalui kisah keteladanan spiritual,* **Menumbuhkan kecintaan kepada para wali Allah**, dan* **Memperkuat ikatan sosial dan ukhuwah Islamiyah** di antara sesama umat Islam.

**Waktu dan Tempat Pelaksanaan**Manakiban biasanya dilaksanakan secara berkala, seperti:* Setiap malam Jumat,* Malam nisfu Sya’ban,* Malam 1 Muharram,* Atau pada hari-hari tertentu sesuai tradisi lokal.Acara ini dilakukan di masjid, musholla, atau rumah warga. Selain pembacaan manaqib, biasanya juga disertai dengan:* Dzikir bersama,* Pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an,* Doa-doa, dan* Terkadang pengajian atau ceramah agama.
**Kandungan Kitab Manaqib**Kitab yang sering dibaca dalam manakiban berjudul **”Manaqib al-Syekh Abdul Qadir al-Jailani”**, ditulis oleh salah seorang muridnya. Kitab ini berisi:* Kisah kelahiran dan masa kecil Syekh Abdul Qadir,* Perjalanan spiritual dan keilmuannya,* Ajaran-ajaran tasawuf,* Perjuangannya dalam menegakkan syariat Islam,* Karamah-karamah yang menunjukkan kedekatannya dengan Allah.
**Kontroversi dan Pandangan Berbeda**Meskipun manakiban telah menjadi bagian dari budaya Islam Nusantara, ada sebagian kalangan yang mengkritik praktik ini, terutama dari kelompok Islam yang berpegang pada pemurnian akidah (seperti Wahabi atau Salafi). Mereka menganggap manakiban berpotensi mengarah pada **kultus individu** atau **perbuatan bid’ah**.Namun bagi banyak ulama sufi dan Nahdliyin, manakiban adalah bentuk **ta’dzim (penghormatan)** kepada para wali Allah, bukan pemujaan. Mereka menekankan bahwa kegiatan ini memiliki nilai **edukatif, spiritual, dan sosial** yang besar.

**Penutup**Manakiban merupakan warisan budaya Islam yang khas di Indonesia. Tradisi ini tidak hanya menyemai kecintaan kepada para wali dan ulama, tetapi juga memperkuat nilai-nilai tasawuf dalam kehidupan umat. Di tengah dunia modern yang serba cepat dan materialistik, manakiban menjadi pengingat bahwa spiritualitas dan keteladanan tetap relevan untuk membentuk karakter umat Islam yang lembut, sabar, dan penuh kasih.